MEMAHAMI DEFINISI KEMISKINAN

 

Kemiskinan adalah isu yang kompleks dan multidimensional,  karena banyaknya pendekatan yang dilakukan terhadap kondisi yang disebut miskin, maka  banyak definisi tentang kemiskinan.  Menurut Bank Dunia (2000),  pada umumnya definisi kemiskinan mengacu kepada ide dasar bahwa kemiskinan adalah masalah “kekurangan” dalam “kesejahteraan”.

Kemiskinan menurut Soerjono Soekanto, (1982, Sosiologi: suatu Pengantar, Rajawali Press) "kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut."

Amartya Sen, seperti dikutip dari Bloom dan Canning (2001, The Health and Poverty of Nations: From Theory to Practice, School of Public Health, Harvard University, Boston and Dept. of Economics, Queens University, Belfast) mengatakan bahwa seseorang dikatakan miskin bila mengalami "capability deprivation" dimana seseorang tersebut mengalami kekurangan kebebasan yang substantif. Menurut Bloom dan Canning, kebebasan substantif ini memiliki dua sisi: kesempatan dan rasa aman. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan.

Todaro, (1984, Ekonomi bagi Negara sedang Berkembang buku I, hal 308) "Pendapatan perkapita yang tinggi bukan merupakan jaminan tiadanya sejumlah kemiskinan absolut"

 Lingkaran Kemiskinan menurut Ragnar Nurske (1952, Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries, Oxford : Basil Blackwell.), Lingkaran Kemiskinan atau perangkap kemiskinan (Vicious Cycles of Poverty) adalah hal yang sering menjadi masalah di berbagai negara atau daerah berkembang. Akibat kapasitas yang kecil dalam tabungan mengakibatkan income riil yang rendah, dimana income riil yang rendah menunjukkan produktivitas yang rendah pula. Hal ini berputar lebih besar dan mengakibatkan kekurangan kapital. Kekurangan modal inilah yang menyebabkan tingkat kapasitas tabungan yang kecil. Riil income yang rendah menurut Nurske, merupakan refleksi dari rendahnya produktivitas.

Kemiskinan absolut, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Kemiskinan relatif ditentukan oleh perbandingan, dimana seseorang pendapatannya dapat saja berada di atas garis kemiskinan, namun dapat lebih rendah bila dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya.

Kemiskinan struktural terjadi ketika seseorang miskin dikarenakan pengaruh kebijakan pemerintah yang tidak menjangkau lapisan masyarakat tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.

Menurut Paul Spicker (2002, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, A Catalyst Working Paper, London: Catalyst.) penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam empat mazhab:

a)   Individual explanation, diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri: malas, pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap memiliki anak dan sebagainya.

b)   Familial explanation, akibat faktor keturunan, dimana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.

c)   Subcultural explanation, akibat karakteristik perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.

d)   Structural explanations, menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau hak.

Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat.

Dua ukuran kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu :

a)   US$ 1 perkapita per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut.

b)   US$ 2 perkapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolute

Terdapat tiga indikator kemiskinan yang lazim digunakan BPS, yaitu:

a)   Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK).

b)   Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.

c)   Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Menurut Sharp et al. (Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. (2000), Economics of Social Issues 14th edition, New York: Irwin/McGraw-Hill. kemiskinan bersumber dari hal di bawah ini, yaitu:

a.     Rendahnya kualitas angkatan kerja.

Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar 1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%.

b.     Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.

Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja (capital-to-labor ratios) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.

c.     Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.

Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional.

d.     Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.

Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi.

e.     Pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan. Kekurangan bahan pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi dimana suatu standar kehidupan yang “layak” tidak tercapai. Dalam menentukan standar kehidupan yang “layak”,  BPS melakukan pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran).

Dengan pendekatan ini kemudian ditentukan Garis Kemiskinan (yang merupakan gabungan dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan non-Makanan), penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan penduduk miskin. Cara penentuan penduduk miskin semacam ini disebut penentuan kemiskinan absolut.

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan penanganan secara menyeluruh dan bersama dengan mengedepankan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak dasar manusia. Kemiskinan terjadi bukan semata karena kurangnya pendapatan, tetapi karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan memenuhi kehidupan yang bermartabat sebagai bagian dari hak manusia yang paling asasi. Strategi Penanggulangan Kemiskinan memandang bahwa pendekatan hak dasar manusia menjadi titik tolak paling esensial untuk menghormati dan melindungi setiap warganegara yang karena kelahirannya ataupun proses naturalisasi agar terpenuhi martabatnya sebagai bagian dari perikemanusiaan dan perikeadilan.

Hal ini menjadi tugas utama negara sebagaimana dimuat dalam pembukaan UUD 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak setiap bangsa” dan tugas pemerintah negara Indonesia tidak lebih dari “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Pernyataan ini secara eksplisit bermakna bahwa dalam mengisi kemerdekaan setiap warga bangsa dijamin oleh negara mengenai perlindungan dan penghormatannya.

Pendekatan yang berbasis hak dasar untuk mengatasi akar permasalahan kemiskinan di Kabupaten Solok dinilai tepat karena pendekatan ini mendorong proses identifikasi sumber kemiskinan, kiat mengatasinya dan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan dengan proses partisipatif dan berkesinambungan. Dengan proses partisipatif berarti perlu mendengarkan dan memahami keluhan dan suara dari kelompok miskin baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan proses yang partisipatif dapat ditumbuhkan rasa kebersamaan untuk mengatasi kemiskinan yang semakin kronis. Berkesinambungan berarti perlu disusun suatu program kegiatan yang terencana, terpadu, bertahap dan melibatkan semua komponen. Program-program kegiatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan tidak tepat hanya dirancang untuk jangka waktu yang singkat dan bila tidak menumbuhkan semangat untuk bangkit dan kerja keras dari kelompok miskin sendiri. Peluang dan dorongan harus terus diupayakan agar mereka yang miskin dapat lebih baik kondisinya dan mereka yang rentan kemiskinan, tidak mudah terpuruk dalam kondisi kemiskinan kembali.

Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri kemiskinan menurut Prayitno (1987) :

a)       Mereka yang hidup di bawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas;

b)       Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperolehnya tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhinya kredit perbankan, sehingga jaminan kredit dan lain-lain yang mengakibatkan mereka berpaling ke “lintah darat” yang biasanya untuk pelunasannya meminta syarat-syarat yang berat dan bunga yang amat tinggi;

c)        Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, tak sampai tamat Sekolah Dasar (SD). Waktu mereka umumnya habis tersita untuk mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian pun dengan anak-anak mereka, tak dapat menyelesaikan sekolahnya oleh karena harus membantu orangtanya mencari tambahan penghasilan;

d)       Banyak di antara mereka tidak mempunyai tanah, kalaupun ada relatif kecil. Pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja atas dasar musiman, maka kesinambungan kerja tidak terjamin. Banyak di antara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang berusaha apa saja. Akibatnya dalam situasi penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengungkung mereka selalu hidup di bawah kemiskinan;

e)       Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa. Dengan kata lain, keiskinan pedesaan membuahkan fenomena urbanisasi dari desa ke kota.

Kemiskinan dapat diamati sebagai kondisi anggota masyarakat yang tidak ikut dalam proses perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam pemilikan faktor produksi yang memadai sehingga tidak mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi: pertama, rendahnya pemilikan akan faktor produksi, faktor produksi di sini berupa tanah atau modal. Pemilikan tanah oleh petani di Indonesia pada umumnya rendah. Pola umum kepemilikan tanah di Indonesia bercirikan: tanah sempit, sangat terpecah-pecah dan dikerjakan sendiri (Booth, 1983).

Kedua, tingkat pendidikan yang rendah, pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor yang mampu mengatasi masalah kemiskinan. Adelman dn Morris (1973) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan langkah paling strategis di dalam usaha-usaha mengatasi masalah kemiskinan. Tetapi Schiller memperingatan bahwa peningkatan keterampilan melalui jenjang pendidikan tidaklah selalu mampu mengatasi masalah kemiskinan. Dalam hal ini perlu diperhatikan kemampuan perekonomian negara untuk menyerap tenaga kerja terdidik tersebut. Di satu sisi, peningkatan keterampilan merupakan salah satu faktor penawaran, sedang di sisi lain tidak dapat diabaikan pula faktor permintaan terhadap tenaga kerja tersebut.

Kenaikan jenjang pendidikan mempunyai pengaruh besar di dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Kenaikan jenjang pendidikan mempunyai korelasi yang erat dengan kenaikan tingkat pendapatan. Dalam hal ini Schiller mengemukakan tiga alasan utama mengapa jenjang pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pendapatan. Pertama, tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat produktivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari pertambahan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, dengan tingkat pendidikan yang makin tinggi akan terbuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan dalam hal tertentu dapat berfungsi selaku badan penyalur tenaga kerja.

Ini berarti mereka yang tinggi akan mendapat perlakuan istimewa di pasar tenaga kerja. Tetapi untuk memperoleh pendidikan tinggi memerlukan biaya yan tidak sedikit jumlahnya, yang pada umumnya tidak terjangkau oleh penduduk miskin. Di satu sisi, penduduk miskin menjadi miskin karena pendidikannya rendah. Sebaliknya, di sisi lain, tingkat pendidikan penduduk miskin rendah karena mereka berada dalam keadaan miskin. Golongan penduduk miskin seakan-akan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Dalam keadaan demikian, biasanya pemerintah atau lembaga yang berwenang turun tangan untuk mendobrak lingkaran kemiskinan. Sehingga ketiadaan biaya penduduk miskin tidak akan mempengaruhi usaha-usaha untuk meningkatkan pendidikan golongan tersebut.

Ketiga, rendahnya kualitas kesehatan, keadaan perumahan dan lingkungan sekitar. Menurut Human Development Index, mereka yang tergolong miskin adalah mereka yang terancam bahaya lingkungan dan resiko kesehatan. Resiko kesehatan dapat timbul dari pusi, kondisi perumahan yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, polusi air dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (UNDP, 1992). Keadaan-keadaan tersebut dapat mempengaruhi produktifitas penduduk miskin yang pada akhirnya akan menyulitkan mereka untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidupnya.

Keempat, tingkat kelahiran (fertilitas) yang tinggi. angka kelahiran bayi yang tinggi akan menyebabkan kenaikan pendapatan penduduk miskin menjadi tidak ada artinya, karena tambahan pendapatan akan terserap untuk membiayai anggota rumah tangga baru. Tetapi ada pula kemungkinan dengan hadirnya si bayi secara psikologis akan menambah semangat anggota rumah tangga lain untuk mencari atau menambah penghasilannya. Tetapi keadaan ini akan tidak berarti banyak jika kesempatan kerja di sekitarnya sudah tidak tersedia atau sudah terlalu jenuh.

 

Keempat faktor tersebut dapat mempengaruhi penduduk dalam meningkatkan pendapatan atau, bahkan menurunkan pendapatan mereka. Keadaan ini tentunya akan menghambat penduduk miskin untuk meningkatkan taraf hidup dan menghilangkan status miskin dari dirinya.

Berdasarkan berbagai terminologi/konsep serta pendekatan penentuan tingkat kemiskinan dengan melihat kepada berbegai aspek ekonomi, sosial dan budaya serta karakteristik rumah tangga maka BPS melalui PPLS 2011 menetapkan 14 variabel penentu kemiskinan yaitu :

a)       Luas lantai rumah

b)       Jenis lantai rumah

c)        Jenis dinding rumah

d)       Fasilitas tempat buang air besar

e)       Sumber air minum

f)         Penerangan yang digunakan

g)       Bahan bakar yang digunakan

h)       Frekuensi makan dalam sehari

i)         Kebiasaan membeli daging

j)         Kemampuan membeli pakaian

k)       Kemampuan berobat ke Puskesmas/ poliklinik

l)         Lapangan pekerjaan kepala keluarga

m)     Pendidikan kepala rumah tangga

n)       Kepemilikan asset

 

Variabel kemiskinan ini telah digunakan di Indonesia dalam penentuan rumah tangga miskin untuk intervensi program penanggulangan kemiskinan. Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan penafsiran tentang kemiskinan dan pelaksanaan otonomi daerah maka dirasa perlu untuk memilah variabel kemiskinan yang sesuai dengan kondisi lokal. Hal ini dimungkinkan dalam rangka optimalisasi kondisi sosial, ekonomi dan budaya lokal yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.