Indonesia terlahir dari banyak bangsa sebagai embrio awalnya, ada lebih dari 300 etnis yang berhimpun dalam satu kesatuan membentuk negara Republik Indonesia. Menurut sensus BPS pada tahun 2010, terdapat 1.340 Etnis yang saat ini berada di Republik Indonesia. Jumlah ini menjadikan indonesia negara yang paling heterogen dari sisi etnis dan tentunya disertai dengan negara dengan resiko konfilk sosial tertinggi pula.
Dari data BPS 2010, sebanyak 6,5 dari seluruh etnik itu merupakan bangsa minang kabau yang mayoritas bermukim di Sumatera Barat, meski secara umum sumatera barat diluar kepulauan mentawai dapat dikatakan homogen, karena semuanya bangsa minangkabau, namun konflik sosial masih menjadi momok yang menakutkan diranah bundo ini.
Kecemasan ini saya kira wajar, sebagaimana dimuat di Harian Umum Singgalang tanggal 1 Agustus 2016, Zul Aliman dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sumatera Barat merilis bahwa masih banyak terdapat potensi konflik sosial di Sumatera Barat, mulai dari aliran aliran kepercayaan baru yang meresahkan, Sengketa lahan antar nagari atau nagari dengan perusahaan, masuknya tenaga kerja dari luar, dan berbagai sengketa yang saat ini masih status quo ibarat api dalam sekam yang hanya menunggu tiupan angin untuk jadi membara.
Tumbuhnya aliran aliran baru yang dianggap sesat oleh kaum muslimin di Sumatera barat adalah potensi Konflik sosial paling mencemaskan di Sumatera Barat, aliran aliran yang sudah terpantau dan telah memancing konflik berskala kecil adalah Syi’ah, Ahmadiyah, dan beberapa ajaran lainnya. Ujung dari konflik, Walikota Padang menurunkan paksa plang nama perserikatan ahmadiyah di Padang. Namun dua aliran sesat ini tidak juga dapat dimusnahkan.
Potensi konflik yang kedua yang menjadi api dalam sekam di Sumatera Barat adalah sengketa tapal batas nagari. Tapal batas nagari adalah isu yang paling mengkristal di sumatera barat, isu ini mudah sekali pecah menjadi konflik yang bahkan dapat dipicu oleh hal hal yang sepele saja. Dari catatan saya, terdapat beberapa konflik yang pernah terjadi dan mungkin berulang menyangkut tapal batas nagari. Diantaranya : Sengketa tapal batas Pesisir selatan dengan Muko Muko, Sengketa tapal batas antara sijunjung dan dharmasraya, sengketa tapal batas nagari Saniang Baka dengan muaro pingai yang sudah memakan korban dan masih banyak lagi.
Kekayaan sumber daya alam di Sumatera barat turut memberi saham potensi konflik sosial, umumnya adalah sengketa lahan ulayat dengan perusahan, sebagaimana terjadi antara masyarakat tiku kabupaten agam dengan perusahaan sawit PT Mutiara Agam, konflik antara masayarakat parik malintang dengan pengusaha galian C di Lubuk Alung, dan yang paling mengejutkan terjadi konflik dengan warga asing yang tidak memiliki izin bekerja dan menetap di kabupaten Solok Selatan.
Konflik antar umat beragama adalah potensi konflik yang saat ini saya nilai kecil kemungkinan terjadi di Sumatera Barat, karena disuamtera barat secara umum dapat dikatakan bahwa agama mayoritas penuh toleransi dan pemeluk agama minoritas juga bisa menjaga diri, meskipun ada oknum oknum umat beragama yang merusak tatanan yang sudah baik saat ini, seperti kasus wawah pada tahun 2001.
Satu satunya jalan agar bara dalam sekam ini tidak berkobar membakar persatuan dan kesatuan bangsa, maka pemerintah harus memberikan akomodasi secara serius dan berkelanjutan. Akomodasi yang dilakukan dapat berupa konsilisasi, dimana pihak pihak yang bertikai dipertemukan untuk mendapatkan kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Pemerintah juga dapat menjadi pihak ketiga dalam mediasi konflik meski saat ini pihak pihak yang bertikai masih terkesan untuk mengambil langkah segresi.
Mediasi yang paling efektif menurut pendapat saya adalah mediasi yang dilakukan oleh tokoh tokoh agama. Karena secara kultur di Sumatera Barat, para ulama masih memiliki pengaruh yang besar dalam meredakan ketegangan. Bila semua langkah sudah dilakukan termasuk arbitrase di pengadilan, konflik ini masih tidak dapat diredakan, mungkin langkah terakhirnya adalah pemerintah mengambil tindakan tegas sebagai pengambil keputusan dengan cara se-adil adilnya.
Kesimpulan dari tulisan saya ini adalah Sumatera barat saat ini mengandung api dalam sekam, ada konflik sosial yang masih terpendam, untuk memadamkannya tidak cukup diberi percikan air saja, harus dibasahi secara keseluruhan supaya kobarannya berhenti. Jika terlambat maka kobarannya tidak akan dapat terpadamkan. Semua pihak terkait harus secara bersama sama menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, harus satu pemahaman bahwa menjaga hubungan sesama manusia adalah salah satu syarat untuk berhubungan dengan pencipta manusia.